Rabu, 30 Januari 2013

Mencoba Membuat Fanfic :D



PERASAAN DALAM SENJA


“Ayo, naik!”

“Ayana dimana?”

“mungkin dia udah pulang duluan. Kenapa?”

“ah, engga. Ya udah.”

Dengan tidak berpijak pada sadel, aku duduk di bagian belakang sepeda miliknya dan kemudian Ia mengayuh sepeda yang kita naiki berdua. Sudah hampir 2 minggu Kagawa selalu mengantarku pulang-pergi ke sekolah. Sejak aku mengalami kecelakaan minggu lalu dan mengalami luka yang cukup parah di kaki kananku dan membuatku tidak bisa membawa sepeda sendiri. Namun walaupun luka itu telah sembuh 2 hari yang lalu, Ia masih mengantarku hingga kini.

“kaki Aku kan udah sembuh, kenapa kamu masih mau nganterin aku pulang?”

“ya.. kenapa engga? Aku mau aja..”

“tapi kan rumah kamu jauh, engga se-arah pula.”

“sekalian olahraga, sehat buatku kok! Haha”

Aku kemudian mengalihkan pandangan dan tidak mengikuti tawanya. Terkadang Ia menyebalkan juga dikala Aku serius bertanya, tanggapannya hanya seperti itu. Padahal bukan jawaban itu yang ingin Aku dengar. Padahal yang ingin ku dengar itu apa yang sebenarnya ada di pikirannya selama ini. Atau bahkan mungkin Ia akan mengatakan perasaan yang sama denganku? Aku hanya bisa berharap untuk hal itu. Tapi apa mungkin Ia akan menyukai Aku yang sekelas dengannya? Nanti bisa-bisa teman satu kelas akan mengejek kami. Ah, tapi Ia sepertinya sangat dekat dengan Ayana. Apa mungkin mereka sudah berpacaran? Atau.. bagaimana dengan gosip yang mengatakan Ia menyukai anak kelas sebelah yang bernama Nadila?
Pertanyaan-pertanyaan itu benar-benar ingin aku tanyakan! Aku hanya penasaran, siapa sebenarnya gadis yang ada di hatinya. Pernah Ku tanyakan diam-diam kepada sahabatnya, tapi mereka mengatakan Ia tak pernah cerita soal siapa sebenarnya gadis yang ada di hatinya. Mereka hanya bilang, Kagawa memang bersikap baik pada siapa saja. Ia memang tipikal orang yang tidak pernah setengah-setengah jika membantu orang lain atau melakukan sesuatu dan mungkin wajar saja banyak gadis yang digosipkan dengannya karena banyak yang mengartikan kebaikan Kagawa itu sebagai rasa suka tetapi entah siapa yang sebenarnya gadis yang benar-benar Kagawa sukai.
Aku sungguh tidak puas dengan informasi yang kudengar. Ingin rasanya saat ini juga Ku tanyakan padanya. Kutolehkan pandanganku yang tadinya menunduk, menjadi terarah kepada Ia yang sedang mengayuh sepeda tanpa menoleh ke arahku yang berada di belakang. Tanganku yang terpangku, mulai terangkat sedikit demi sedikit untuk menepuk bahunya, namun, ah.. sepertinya tidak usah menepuk bahunya. Kembali aku terdiam sambil memandangi rumah demi rumah yang kami lewati.

Sepeda ini mulai melaju melambat karena akan menaiki sebuah tanjakan yang cukup tinggi. Sebuah tanjakan yang memutar ke atas, yang bagian sampingnya dibatasi oleh sebuah pagar besi yang di cat berwarna putih. Dari tanjakan ini, bisa terlihat pemandangan kota di bawah sana.  Sepertinya lebih baik Aku turun dan berjalan kaki saja di tanjakan ini.

“berhenti, berhenti!”

Kagawa pun menghentikan sepedanya dan menoleh padaku.

“kenapa, Dy?”

“aku turun dulu aja.” Kuturunkan kaki kananku untuk berpijak pada aspal namun dengan tangan kirinya, tiba-tiba ia memegang lenganku dan menahan langkahku.

“jangan, gak usah! Gak apa-apa kok, kamu duduk saja.”

“tapi kan nanti jadi lebih berat. Apa kamu gak capek tiap hari seperti ini?”

“Cindy.. seorang pria gak akan pernah mengingkari janjinya sendiri, percayalah padaku.
Lagipula, kaki kamu mungkin belum sembuh benar.”

Terdiam beberapa detik, dan akhirnya sepeda pun melaju kembali dengan
kami yang menaikinya. Perlahan, sepeda ini menaiki tanjakan dengan Kagawa yang susah payah berdiri untuk mengayuhnya. Nafasnya mulai terengah dan wajahnya mulai dibasahi oleh keringat. Akhir tanjakan ini masih lama, karena masih harus menaiki 2 putaran lagi. Aku hanya bisa menatapnya dari belakang dengan rasa tidak enak hati.
Terlalu banyak pertanyaan di kepalaku, mengapa Ia sampai sebegini baiknya? Hanya dengan sebuah janji, semangatnya seolah tidak pernah menghilang. Ataukah Ia memang memiliki perasaan yang sama denganku? Dengan diriku yang selalu diam-diam mendengarkan apa yang sedang Ia bicarakan dengan orang lain di dalam kelas. Dengan diriku yang diam-diam selalu mengagumi senyum, tawa, suara, tatapan matanya dan sosok ‘berbeda’ dalam dirinya.

Aku memandang jauh ke depan, ke pemandangan dimana kota yang besar menjadi terlihat kecil dengan disinari cahaya matahari senja. Senja yang seolah hendak menyelimuti kami dengan warna jingganya. Tuhan, jika memang benar didalam hatinya ada diriku, jawablah perasaan ini. Namun jika memang Aku bukanlah sosok yang Ia harapkan untuk selalu ada di tiap mimpinya, biarkan kami tetap seperti ini, Aku tidak ingin lepaskan semua perasaan indah yang seringkali menyesakkan dadaku walaupun mungkin Ia hanya menganggapku sebagai teman sekelasnya saja, hingga suatu hari nanti waktu yang akan memisahkan kami.
Kagawa, aku terus menatapmu sedari tadi. Tidakkah kamu akan menoleh ke belakang dan tersenyum padaku? Peluh di wajahnya semakin banyak hingga membanjiri lehernya. Dan, syukurlah, tanjakan akan segera berakhir. Aku melihat jalan datar yang berada di atas sana, tak lama lagi. Tapi, dengan semua perasaan ini, apakah kamu tidak akan pernah menyadarinya?
Pantulan cahaya matahari mulai terlihat dari jalan datar di atas sana. Perlahan, ku pejamkan mataku dan kugerakkan kedua tangan ini untuk memeluk lembut dari belakang sosok yang selalu ku sukai secara diam-diam. Kusandarkan kepalaku ke pundaknya yang kokoh, wahai senja, bisakah tolong sampaikan padanya tentang semua perasaan yang memenuhi hatiku ini? Bahwa, sebenarnya aku tak ingin sepeda ini berhenti melaju, aku ingin terus seperti ini. Disinari mentari yang hangat, tolong dengarkan aku!
Di akhir tanjakan, tiba-tiba laju sepeda terhenti. Kagawa terdiam. Dengan heran, Ia menyadari pelukanku dan melepaskan kedua tangannya dari stang sepeda lalu memegang tanganku yang masih memeluknya. Ia pun menoleh kepadaku.

“kamu ngantuk?”

Tanpa memperdulikan pertanyaan itu, aku yang masih memeluknya dan menyandarkan kepalaku di punggungnya memilih untuk tetap terpejam dan terdiam.

“lelah ya? Sabar ya, sebentar lagi sampai. Maaf Aku memang lamban.”


Lagi-lagi ucapan yang tidak kuduga. Sebegitu tidak mengertikah Ia? Sepeda pun kembali melaju, namun aku masih memeluknya. Jingga berwarna semakin menyala. Lampu-lampu jalan yang terlewati sudah mulai menggantikan sinarnya dan Kagawa masih mengayuh sepeda ini. Tuhan, Aku tak ingin melepaskan pelukan ini. Dengan hati yang berdebar, akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya.


            “kamu pacaran sama Ayana?”


            Tersentak mendengar pertanyaanku, sepeda ini sedikit berhenti kerena rem yang Ia genggam. Namun, seperti tidak menyadari apapun, Ia hanya mengayuh dan menatap ke depan dengan sorotan mata yang tak terbaca. Akhirnya, kami sampai pada tujuan, rumahku. Setelah Aku turun dari sepeda, Iapun membelokkan arah sepedanya dan kembali mengayuh semakin menjauh. Dan, dari kejauhan Ia menoleh kepadaku lalu tersenyum, sampai sosoknya menghilang terhalang oleh tinggi jalan yang berbeda. Haripun semakin gelap, tetapi tanya milikku masih belum terpecahkan. Yang ada hanya hangat tubuhnya yang masih tersisa ditanganku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar