Senin, 22 April 2013

Mencoba Membuat Fanfic :D

PERASAAN DITENGAH HUJAN


            Berjalan pulang ditengah hari yang selalu hujan, selalu membuat hati setiap orang menjadi sedikit melankolis. Kurasa hujan banyak membuat orang-orang menjadi merasa sedih, dan sepertinya termasuk aku. Jalanan menjadi sepi, hanya mobil-mobil yang melewatinya, walaupun memakai payungpun tetap akan terasa segan untuk berjalan karena akan membuat sepatu menjadi basah dan terasa dingin. Juga tidak ada yang bisa dilihat saat hujan, kecuali air hujan yang turun ke bumi dan langit yang gelap. Langkah-langkahku menghindari genangan air saat ini pun sepertinya percuma saja.

            Tetapi, langkahku terhenti saat kudapati beberapa meter dalam jarak pandangku, ada sosoknya, sedang berjalan lambat dan menenteng sepedanya di tengah hujan yang cukup deras. Sesekali ia mengadahkan kepalanya ke atas dan membiarkan tetesan hujan membasahi wajahnya. Senyumnya dalam hujan, ah, Kagawa, mengapa kamu hujan-hujanan? Kakiku melangkah mendekatinya, melewati genangan-genangan air, dan tanpa mengatakan apapun, memayungi dirinya dengan payung yang sedang ku pakai, hingga akhirnya kita berada di bawah naungan payung yang sama, melindungi kami dari derasnya hujan, walaupun kutahu badannya telah basah tetapi aku hanya tak ingin Ia merasakan dinginnya air hujan yang terkena hembusan angin jauh lebih lama.

            “gak apa-apa, Ayana. Kamu saja yang pakai payung ini.” Kagawa berkata sambil memegang tanganku yang sedang memegang payung dan menggeser payung ini ke sisiku.

            “gak mau, kamu ngapain hujan-hujanan? Kalau sakit bagaimana?” aku menyela ucapannya sambil tetap memayungi dirinya. Tetapi Kagawa malah berjalan bergeser ke sisi luar dari payung dan berucap tanpa melihat ke arahku.


            “Aku suka hujan-hujanan seperti ini.
            Apalagi.. bisa hujan-hujanan ditemani orang yang disukai..”


            Orang yang disuka? Hujan-hujanan seperti ini? Maksudmu.. aku? Tunggu.. tunggu! Tadi aku tidak salah mendengar, kan? Apa benar ucapannya seperti itu? Tuhan, apakah yang dimaksudkan Kagawa tadi itu adalah aku? Ingin sekali aku memintanya untuk mengulangi perkataanya yang sebelumnya, aku tidak terlalu mendengar jelas ditengah deras hujan ini! Jantungku berdebar, berharap ucapan Kagawa tadi memiliki maksud untukku. Tentu saja kuharapkan Kagawa akan menyatakan perasaanya sekarang kepadaku. Ah, Tuhan! Aku ingin sekali berteriak!

            “jika melakukan dengan orang yang disuka, tentu saja segalanya akan terasa menyenangkan, bukan?” ucapku berusaha menerobos debaran di hati ini dengan menanggapi ucapannya yang tadi.

            “Iya, kamu benar.
Apalagi menyatakan perasaan di tengah hujan, hati akan terasa lebih sejuk dan tenang.. walaupun sulit, tetapi perasaan akan lebih mudah di ungkapkan seperti air hujan yang turun ke bumi.”

Aku berusaha mengambil nafas untuk tetap tenang. Sepertinya Kagawa hendak mengatakan sesuatu, dan kuharap itu perasaan untukku. Kuputar otakku, mencari kata-kata untuk membuatnya lebih mudah mengungkapkan perasaanya padaku. Kutarik nafas perlahan, dan

“kalau kamu mau menyatakan perasaan kepada seseorang seperti saat ini..          kamu mau mengatakannya seperti apa?”

Bunyi tetesan hujan masih mengiringi percakapan kami yang terselip diam. Seperti berfikir, Kagawa pun menjawab Tanya yang telah kulontarkan.

“entahlah.. sepertinya aku bukan orang yang pandai merangkai kata-kata.
Tetapi, pertama-tama aku akan memintanya untuk mendengarkan suara hujan ini..”

“lalu kemudian?”

Tiba-tiba, Kagawa menghentikan langkahnya dan menyandarkan sepeda yang sedang di tentengnya ke tiang di sebelah kami, dan dengan tangannya yang basah namun terasa hangat, Ia menggenggam tanganku yang tengah memegangi payung.



“Aku hanya ingin mengatakan bahwa selama ini aku sangat menyayanginya..
Yaa.. walaupun terlihat tidak meyakinkan sih tapi setidaknya jika waktu itu tiba, aku harap Ia lebih mendengar detak jantungku yang pasti akan berbunyi sangat keras daripada bunyi derasnya hujan ini..”

Sungguh! Saat ini waktu benar-benar terhenti! suara hujanpun tak terdengar dengan semua ucapan yang tadi Ia katakan padaku. Itukah yang selama ini ingin ia utarakan padaku? Ya Tuhan! Apa yang harus aku katakan? Apa aku juga harus mengutarakan perasaanku padanya? Sejenak aku terhenyak, namun sesegera mungkin ku lepaskan genggaman tangannya dariku yang tidak percaya, apa ini mimpi? Tidak tau harus berkata apa, aku pun kembali melangkahkan kakiku sambil menunduk, ah, sorotan matanya yang tadi. Seperti tidak ingin merespon tindakanku yang tadi, Kagawa kembali menenteng sepedanya sambil mengikuti langkahku. Tuhan, tolong buat hujan yang lebih deras! Aku tak ingin Ia mendengar suara degup jantungku saat ini. Dengan ragu-ragu, kutolehkan pandanganku padanya yang tengah menatapku dengan senyuman di bibirnya. Apa sih yang sebenarnya sedang Ia pikirkan? Apa ia menunggu jawabanku? Tapi kan Ia tidak bertanya apapun padaku!
Saat ini, tidak ada kata yang terucap dariku maupun darinya. Kami hanya berjalan dan berjalan ditengah hujan yang tak kunjung mereda. Ia masih menenteng sepedanya, dan aku, masih berjalan menunduk dengan seribu Tanya. Tujuanku hampir sampai, rumahku. Tetapi aku masih bingung harus berkata apa. Baiklah, mungkin aku akan menjawabnya lewat surat saja. Mungkin baru esok aku akan mengirim surat padanya, siapa tau perasaan ini akan lebih mudah Ia mengerti dengan goresan pena.
Akhirnya beberapa langkah lagi kami sampai ke rumah. walaupun agak malu, tetapi aku akan sedikit memberi salam padanya, ketika tiba-tiba Ia terpejam dan mengadahkan wajahnya ke udara, membiarkan tetesan hujan mengenai wajahnya, lalu berkata padaku, seolah memecah keheningan


“ah, semoga suatu saat nanti aku bisa berani untuk mengutarakan perasaanku seperti tadi kepada seseorang yang ku sukai ya..

Entah kenapa, aku paling tidak bisa berkata seperti tadi kepada orang yang benar-benar ku sukai..

Oh iya, tolong jangan bilang kepada siapapun soal perkataanku yang tadi ya!
Sampai jumpa nanti, Ayana!”

Langkahnya pun menjauh meninggalkanku, meninggalkan diriku yang masih berusaha mengerti akan ucapannya barusan. Sepatu sneakers ini basah, terasa dingin. Perlahan, kuletakkan payung yang ku pakai ke jalan aspal di depan rumahku, dan melakukan seperti yang Ia lakukan, terpejam dengan tetesan dingin air hujan yang mengenai wajah ini, membasuh tetes demi tetes air mata yang turun seiring dengan sedih yang kurasakan, ya, kini Aku mengerti. Dan kini, Tuhan, kumohon Jangan tukar perasaan yang seharusnya indah berbalas ini dengan kesedihan, walaupun hanya aku yang merasakan rasa sayang yang terlalu dalam ini, Aku akan terus menyimpannya hingga tiba saatnya lisanku akan lebih baik dalam mengutarakannya, meskipun bukan ditengah hujan.




*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar