TERIMAKASIH,
HUJAN
Hari ini hari Sabtu dipertengahan
bulan. Sabtu, hari yang selalu kunanti. Saat matahari yang menggantung mulai
menurunkan dirinya perlahan. Terburu aku percepat langkahku menuju tempat yang
selalu aku datangi dimana banyak menjual buku yang baru dan bahkan menyimpan
buku-buku cetakan belasan tahun lalu. Tanpa peduli masih mengenakan seragam,
aku selalu kesana tepat setelah bel pulang berbunyi. Walaupun dengan jarak
cukup jauh –aku masih harus menaiki kendaraan umum untuk kesana- tapi tidak
mengalahkan niatku untuk menemui seseorang yang bahkan aku tak tahu namanya.
Entahlah, akupun tidak mengerti. Sudah 2 bulan terakhir hal ini seolah menjadi
rutinitasku.
Tanpa ragu, aku langkahkan kakiku
kedalam toko buku dengan arsitektur kuno itu. Berjalan sedikit, seolah
mencari-cari sebuah buku. Buku demi buku dengan segel terbuka, kubuka
lembaran-lembarannya seolah membacanya sambil sesekali melirik jam tanganku.
Harusnya, ini sudah saatnya anak laki-laki SMU itu datang kesini. Sebelumnya,
ia selalu datang kesini untuk membaca buku-buku pelajaran tingkat SMA. Ya, aku
masih bersekolah di SMP tingkat 3. Pemilik toko buku sudah mulai melihat ke
arahku, Tuhan, jangan sampai ia mendekat kesini karena aku memang tidak berniat
untuk membeli satupun buku disini. Untuk alihkan perhatiannya, aku berpura-pura
menelfon seseorang, seperti aku sedang menunggunya padahal tidak seorangpun
yang aku telfon.
Menunggu membuatku termenung,
teringatkan lagi akan peristiwa yang terjadi di waktu itu. Kala itu, aku datang
kesini untuk membeli beberapa buku pelajaran lama. Kemudian, ia datang memasuki
toko buku itu dengan biasa, sungguh biasa. Tanpa melihatnya, aku hanya mencari
buku-buku. Setelah kutemukan beberapa buku yang kuinginkan, aku berjalan ke arah kasir untuk membayar dan
berjalan keluar toko buku tersebut. Cukup jauh aku dari toko buku itu dan sudah
hendak menaiki bis, lalu kulihat ia berlari sambil menyeru padaku untuk
berhenti.
“hey,
ini milikmu kan?” ucapnya terengah sambil menyerahkan sesuatu. Ah! Itu
ponselku! Tapi bagaimana bisa?
“eh?
Terimakasih banyak ya, terimakasih.
Pasti
tadi tertinggal ketika aku sedang memilih buku.
Tapi
kamu tau dari mana kalau ini punyaku?”
“karena
itu.” Jawabnya sambil menunjuk ke arah gelangku yang memiliki gantungan
berbentuk teddy bear.
“gantungan
itu sama dengan gantungan di ponselmu,
maka dari itu ponsel ini pasti milikmu.”
Setengah tidak percaya aku dengan
jawabannya. Bagaimana mungkin orang itu bisa sebegitu ingat dengan gantungan
dan gelangku padahal mungkin hanya sekali melihatku. Atau.. mungkin saja ia
mengamatiku. Banyak tanya yang terlintas di benakku membuatku sedikit terdiam menatapnya. Dan yang membuatku heran, ternyata
masih ada orang yang baik seperti dia. Padahal mungkin saja jika orang lain
yang menemukan ponselku, pasti akan mengambilnya. Belum lagi ponselku ini keluaran
terbaru, tentu saja masih berharga lumayan jika dijual kembali.
“terimakasih
banyak ya! Kalau ini sampai hilang, bisa celaka aku!”
“iya
sama-sama.
Siapa
namamu?”
Sambil menyodorkan tanganku dengan disertai
senyuman, kuperkenalkan diriku.
“Nama
saya Shania. Kamu?”
Menyambut senyum dan tanganku, ia pun
menjawab.
“namaku..”
Belum lengkap yang ia ucapkan,
tiba-tiba ponsel miliknya berdering.
“halo?
Iya,
baiklah saya akan segera kesana.
Maaf
saya harus segera pergi, sampai jumpa.”
Ia melambaikan tangannya dan
bergegas pergi. Belum sempat ia melihat lambaian balasan dariku, tubuhnya sudah
berbalik arah, meninggalkan aku yang masih terpaku di halte pinggir jalan.
Rambut kecoklatan, alis tebal, dan paras tegap lebih tinggi dariku, itu yang
kuingat dari sosoknya.
Waktu berlalu sungguh terasa lama.
Sudah hampir setengah jam aku menunggu di sini. Satu persatu pengunjung ku
amati namun sosoknya tak kunjung terlihat, aku tidak tahu. Langitpun mulai
gelap, awan pekat perlahan menutupi langit yang terang Ah, bodoh sekali aku
ini, menunggu seseorang yang bahkan tidak ku kenal hanya untuk melihat
senyumnya. Niat untuk kembali saja kerumah pun mulai ada di hatiku ketika aku
menaruh buku yang kupegang ke raknya semula dan mulai berjalan ke pintu keluar.
Sedikit bimbang di hati, pikiranku mulai ikut mengambil bagian. Bagaimana
ketika aku pergi ia malah datang kesini? Sia-sia saja kalau begitu aku kesini.
Ah, benar saja. Rintik hujan datang dan semakin deras yang menahanku untuk
tetap disini, sial sekali!
Toko pun menjadi ramai dengan hanya deras
bunyi hujan yang terdengar. Mendekati kursi di sudut bagian Koran, aku duduk. Dan
tiba-tiba saja lonceng pintu toko buku berbunyi, pertanda ada yang datang. Pandanganku
teralih, dan, ya Tuhan! Syukurlah itu dirinya! Dalam hatiku sungguh senang
seperti ingin melompat setinggi-tingginya, namun aku hanya duduk menunduk
sambil sesekali mencuri pandang padanya dan menyembunyikan senyum. Ia masuk
dalam keadaan basah, membuka jas hitam seragamnya, dan melipatnya di lengan.
Penjaga toko menyuruhnya untuk tidak memegang buku dengan tangan basah, ia
hanya tersenyum dan mengangguk.
Ia berjalan kedalam, diikuti oleh
pandanganku. Seperti mencari sesuatu dan menemukannya, ia melangkah ke arahku
dan duduk di sampingku lalu mengeluarkan 2 buku pelajarannya dari tas yang
basah. Dengan cepat aku mengeluarkan ponselku dan headset kemudian memakainya seolah hendak mendengarkan lagu padahal
sebenarnya aku hanya tidak tau harus melakukan apa sedangkan detak jantung ini
menjadi lebih cepat dan semakin cepat. Sungguh, aku menahan senyum yang
seharusnya aku berikan saat ini juga sebagai ungkapan sapaan. Ia mengeluarkan
saputangan dari tasnya, mengelap tangan dan mengeringkan rambutnya sementara
aku hanya terdiam menunduk sambil memainkan ponselku.
Entah mengapa, dirinya semakin menarik
perhatianku. Setiap gerak sederhana, membuatku ingin menyapanya, atau
setidaknya sedikit senyumku mungkin bisa menghangatkan suasana ditengah
dinginnya hujan ini. Hatiku ikut berbicara, tidakkah kamu dengar? Ayo cepat,
sapa aku lebih dahulu! Tidakkah kamu tau? sudah sejak lama aku ingin
mengenalmu, sudah beberapa kali aku sengaja kesini untuk menemuimu, kita selalu
berada dalam diam. Tidakkah kamu juga ingin mengenalku? Atau kamu hanya
menganggap aku anak SMP, tidak menarik bagimu? Atau bahkan kamu sama sekali
tidak ingat padaku dan kejadian waktu itu?
Tuhan, bodoh sekali aku ini, sangat
bodoh dan aneh! Kenapa aku jadi bersikap seperti ini? Eh? Sepertinya tangannya
sudah kering. Ia pun berdiri dan mulai berkeliling mencari, lalu membaca buku
seperti yang biasa ia lakukan. Aku disini, hanya duduk mengamatinya dari jarak
yang cukup. Kesal, tentu saja karena aku tidak bisa menyapanya lebih dahulu, ah
susah sekali sih menjadi anak perempuan! Jika suka, hanya bisa menunggu.
Lama kemudian, bunyi hujan mulai
tidak terdengar, hujan yang mereda. Cepat sekali rasanya waktu berjalan ketika sedang
tidak menunggu suatu hal. Baiklah, aku ingin pulang saja. Namun sepertinya,
laki-laki itu pun akan pulang seperti aku. Sengaja aku terdiam dulu agar ia
berjalan lebih dahulu dari aku. Setidaknya mungkin aku bisa melihatnya untuk
sebentar lagi. Ia pun memakai tasnya dan membawa 2 buku lagi di tangannya.
Tiba-tiba sesuatu jatuh dari buku yang dibawanya, kurasa tanpa Ia sadari. Tidak
segera ku pungut, aku berpura-pura mengikat tali sepatu yang sudah terikat
untuk mengambi benda itu yang ternyata adalah sebuah kartu pelajar. Sambil
melangkah lebih riang di jalanan yang basah setelah hujan, aku bersenandung.
Ah, terimakasih, hujan!
SMA
***
Nama : Kyo Nakagawa
Kelas : 3A
No.
Induk : 0456
Tidak ada komentar:
Posting Komentar