PERASAAN DALAM SENJA
“Ayo,
naik!”
“Ayana
dimana?”
“mungkin
dia udah pulang duluan. Kenapa?”
“ah,
engga. Ya udah.”
Dengan
tidak berpijak pada sadel, aku duduk di bagian belakang sepeda miliknya dan
kemudian Ia mengayuh sepeda yang kita naiki berdua. Sudah hampir 2 minggu
Kagawa selalu mengantarku pulang-pergi ke sekolah. Sejak aku mengalami
kecelakaan minggu lalu dan mengalami luka yang cukup parah di kaki kananku dan
membuatku tidak bisa membawa sepeda sendiri. Namun walaupun luka itu telah
sembuh 2 hari yang lalu, Ia masih mengantarku hingga kini.
“kaki
Aku kan udah sembuh, kenapa kamu masih mau nganterin aku pulang?”
“ya..
kenapa engga? Aku mau aja..”
“tapi
kan rumah kamu jauh, engga se-arah pula.”
“sekalian
olahraga, sehat buatku kok! Haha”
Aku
kemudian mengalihkan pandangan dan tidak mengikuti tawanya. Terkadang Ia
menyebalkan juga dikala Aku serius bertanya, tanggapannya hanya seperti itu.
Padahal bukan jawaban itu yang ingin Aku dengar. Padahal yang ingin ku dengar
itu apa yang sebenarnya ada di pikirannya selama ini. Atau bahkan mungkin Ia akan
mengatakan perasaan yang sama denganku? Aku hanya bisa berharap untuk hal itu.
Tapi apa mungkin Ia akan menyukai Aku yang sekelas dengannya? Nanti bisa-bisa
teman satu kelas akan mengejek kami. Ah, tapi Ia sepertinya sangat dekat dengan
Ayana. Apa mungkin mereka sudah berpacaran? Atau.. bagaimana dengan gosip yang
mengatakan Ia menyukai anak kelas sebelah yang bernama Nadila?
Pertanyaan-pertanyaan
itu benar-benar ingin aku tanyakan! Aku hanya penasaran, siapa sebenarnya gadis
yang ada di hatinya. Pernah Ku tanyakan diam-diam kepada sahabatnya, tapi
mereka mengatakan Ia tak pernah cerita soal siapa sebenarnya gadis yang ada di
hatinya. Mereka hanya bilang, Kagawa memang bersikap baik pada siapa saja. Ia
memang tipikal orang yang tidak pernah setengah-setengah jika membantu orang
lain atau melakukan sesuatu dan mungkin wajar saja banyak gadis yang digosipkan
dengannya karena banyak yang mengartikan kebaikan Kagawa itu sebagai rasa suka
tetapi entah siapa yang sebenarnya gadis yang benar-benar Kagawa sukai.
Aku
sungguh tidak puas dengan informasi yang kudengar. Ingin rasanya saat ini juga
Ku tanyakan padanya. Kutolehkan pandanganku yang tadinya menunduk, menjadi
terarah kepada Ia yang sedang mengayuh sepeda tanpa menoleh ke arahku yang
berada di belakang. Tanganku yang terpangku, mulai terangkat sedikit demi
sedikit untuk menepuk bahunya, namun, ah.. sepertinya tidak usah menepuk
bahunya. Kembali aku terdiam sambil memandangi rumah demi rumah yang kami
lewati.
Sepeda
ini mulai melaju melambat karena akan menaiki sebuah tanjakan yang cukup
tinggi. Sebuah tanjakan yang memutar ke atas, yang bagian sampingnya dibatasi
oleh sebuah pagar besi yang di cat berwarna putih. Dari tanjakan ini, bisa
terlihat pemandangan kota di bawah sana. Sepertinya lebih baik Aku turun dan berjalan
kaki saja di tanjakan ini.
“berhenti,
berhenti!”
Kagawa
pun menghentikan sepedanya dan menoleh padaku.
“kenapa,
Dy?”
“aku
turun dulu aja.” Kuturunkan kaki kananku untuk berpijak pada aspal namun dengan
tangan kirinya, tiba-tiba ia memegang lenganku dan menahan langkahku.
“jangan,
gak usah! Gak apa-apa kok, kamu duduk saja.”
“tapi
kan nanti jadi lebih berat. Apa kamu gak capek tiap hari seperti ini?”
“Cindy.. seorang pria gak akan pernah mengingkari janjinya
sendiri, percayalah padaku.
Lagipula, kaki kamu mungkin belum sembuh benar.”
Terdiam beberapa detik, dan akhirnya sepeda pun melaju
kembali dengan
kami yang menaikinya. Perlahan, sepeda
ini menaiki tanjakan dengan Kagawa yang susah payah berdiri untuk mengayuhnya.
Nafasnya mulai terengah dan wajahnya mulai dibasahi oleh keringat. Akhir
tanjakan ini masih lama, karena masih harus menaiki 2 putaran lagi. Aku hanya
bisa menatapnya dari belakang dengan rasa tidak enak hati.
Terlalu
banyak pertanyaan di kepalaku, mengapa Ia sampai sebegini baiknya? Hanya dengan
sebuah janji, semangatnya seolah tidak pernah menghilang. Ataukah Ia memang
memiliki perasaan yang sama denganku? Dengan diriku yang selalu diam-diam
mendengarkan apa yang sedang Ia bicarakan dengan orang lain di dalam kelas.
Dengan diriku yang diam-diam selalu mengagumi senyum, tawa, suara, tatapan
matanya dan sosok ‘berbeda’ dalam dirinya.
Aku
memandang jauh ke depan, ke pemandangan dimana kota yang besar menjadi terlihat
kecil dengan disinari cahaya matahari senja. Senja yang seolah hendak
menyelimuti kami dengan warna jingganya. Tuhan, jika memang benar didalam
hatinya ada diriku, jawablah perasaan ini. Namun jika memang Aku bukanlah sosok
yang Ia harapkan untuk selalu ada di tiap mimpinya, biarkan kami tetap seperti
ini, Aku tidak ingin lepaskan semua perasaan indah yang seringkali menyesakkan
dadaku walaupun mungkin Ia hanya menganggapku sebagai teman sekelasnya saja,
hingga suatu hari nanti waktu yang akan memisahkan kami.
Kagawa,
aku terus menatapmu sedari tadi. Tidakkah kamu akan menoleh ke belakang dan
tersenyum padaku? Peluh di wajahnya semakin banyak hingga membanjiri lehernya. Dan,
syukurlah, tanjakan akan segera berakhir. Aku melihat jalan datar yang berada
di atas sana, tak lama lagi. Tapi, dengan semua perasaan ini, apakah kamu tidak
akan pernah menyadarinya?
Pantulan
cahaya matahari mulai terlihat dari jalan datar di atas sana. Perlahan, ku
pejamkan mataku dan kugerakkan kedua tangan ini untuk memeluk lembut dari
belakang sosok yang selalu ku sukai secara diam-diam. Kusandarkan kepalaku ke pundaknya
yang kokoh, wahai senja, bisakah tolong sampaikan padanya tentang semua
perasaan yang memenuhi hatiku ini? Bahwa, sebenarnya aku tak ingin sepeda ini
berhenti melaju, aku ingin terus seperti ini. Disinari mentari yang hangat,
tolong dengarkan aku!
Di
akhir tanjakan, tiba-tiba laju sepeda terhenti. Kagawa terdiam. Dengan heran, Ia
menyadari pelukanku dan melepaskan kedua tangannya dari stang sepeda lalu memegang tanganku yang masih memeluknya. Ia pun
menoleh kepadaku.
“kamu
ngantuk?”
Tanpa memperdulikan
pertanyaan itu, aku yang masih memeluknya dan menyandarkan kepalaku di
punggungnya memilih untuk tetap terpejam dan terdiam.
“lelah
ya? Sabar ya, sebentar lagi sampai. Maaf Aku memang lamban.”
Lagi-lagi
ucapan yang tidak kuduga. Sebegitu tidak mengertikah Ia? Sepeda pun kembali
melaju, namun aku masih memeluknya. Jingga berwarna semakin menyala. Lampu-lampu
jalan yang terlewati sudah mulai menggantikan sinarnya dan Kagawa masih
mengayuh sepeda ini. Tuhan, Aku tak ingin melepaskan pelukan ini. Dengan hati
yang berdebar, akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya.
“kamu
pacaran sama Ayana?”
Tersentak
mendengar pertanyaanku, sepeda ini sedikit berhenti kerena rem yang Ia genggam.
Namun, seperti tidak menyadari apapun, Ia hanya mengayuh dan menatap ke depan
dengan sorotan mata yang tak terbaca. Akhirnya, kami sampai pada tujuan,
rumahku. Setelah Aku turun dari sepeda, Iapun membelokkan arah sepedanya dan
kembali mengayuh semakin menjauh. Dan, dari kejauhan Ia menoleh kepadaku lalu
tersenyum, sampai sosoknya menghilang terhalang oleh tinggi jalan yang berbeda.
Haripun semakin gelap, tetapi tanya milikku masih belum terpecahkan. Yang ada
hanya hangat tubuhnya yang masih tersisa ditanganku.