Rabu, 30 Januari 2013

Mencoba Membuat Fanfic :D



PERASAAN DALAM SENJA


“Ayo, naik!”

“Ayana dimana?”

“mungkin dia udah pulang duluan. Kenapa?”

“ah, engga. Ya udah.”

Dengan tidak berpijak pada sadel, aku duduk di bagian belakang sepeda miliknya dan kemudian Ia mengayuh sepeda yang kita naiki berdua. Sudah hampir 2 minggu Kagawa selalu mengantarku pulang-pergi ke sekolah. Sejak aku mengalami kecelakaan minggu lalu dan mengalami luka yang cukup parah di kaki kananku dan membuatku tidak bisa membawa sepeda sendiri. Namun walaupun luka itu telah sembuh 2 hari yang lalu, Ia masih mengantarku hingga kini.

“kaki Aku kan udah sembuh, kenapa kamu masih mau nganterin aku pulang?”

“ya.. kenapa engga? Aku mau aja..”

“tapi kan rumah kamu jauh, engga se-arah pula.”

“sekalian olahraga, sehat buatku kok! Haha”

Aku kemudian mengalihkan pandangan dan tidak mengikuti tawanya. Terkadang Ia menyebalkan juga dikala Aku serius bertanya, tanggapannya hanya seperti itu. Padahal bukan jawaban itu yang ingin Aku dengar. Padahal yang ingin ku dengar itu apa yang sebenarnya ada di pikirannya selama ini. Atau bahkan mungkin Ia akan mengatakan perasaan yang sama denganku? Aku hanya bisa berharap untuk hal itu. Tapi apa mungkin Ia akan menyukai Aku yang sekelas dengannya? Nanti bisa-bisa teman satu kelas akan mengejek kami. Ah, tapi Ia sepertinya sangat dekat dengan Ayana. Apa mungkin mereka sudah berpacaran? Atau.. bagaimana dengan gosip yang mengatakan Ia menyukai anak kelas sebelah yang bernama Nadila?
Pertanyaan-pertanyaan itu benar-benar ingin aku tanyakan! Aku hanya penasaran, siapa sebenarnya gadis yang ada di hatinya. Pernah Ku tanyakan diam-diam kepada sahabatnya, tapi mereka mengatakan Ia tak pernah cerita soal siapa sebenarnya gadis yang ada di hatinya. Mereka hanya bilang, Kagawa memang bersikap baik pada siapa saja. Ia memang tipikal orang yang tidak pernah setengah-setengah jika membantu orang lain atau melakukan sesuatu dan mungkin wajar saja banyak gadis yang digosipkan dengannya karena banyak yang mengartikan kebaikan Kagawa itu sebagai rasa suka tetapi entah siapa yang sebenarnya gadis yang benar-benar Kagawa sukai.
Aku sungguh tidak puas dengan informasi yang kudengar. Ingin rasanya saat ini juga Ku tanyakan padanya. Kutolehkan pandanganku yang tadinya menunduk, menjadi terarah kepada Ia yang sedang mengayuh sepeda tanpa menoleh ke arahku yang berada di belakang. Tanganku yang terpangku, mulai terangkat sedikit demi sedikit untuk menepuk bahunya, namun, ah.. sepertinya tidak usah menepuk bahunya. Kembali aku terdiam sambil memandangi rumah demi rumah yang kami lewati.

Sepeda ini mulai melaju melambat karena akan menaiki sebuah tanjakan yang cukup tinggi. Sebuah tanjakan yang memutar ke atas, yang bagian sampingnya dibatasi oleh sebuah pagar besi yang di cat berwarna putih. Dari tanjakan ini, bisa terlihat pemandangan kota di bawah sana.  Sepertinya lebih baik Aku turun dan berjalan kaki saja di tanjakan ini.

“berhenti, berhenti!”

Kagawa pun menghentikan sepedanya dan menoleh padaku.

“kenapa, Dy?”

“aku turun dulu aja.” Kuturunkan kaki kananku untuk berpijak pada aspal namun dengan tangan kirinya, tiba-tiba ia memegang lenganku dan menahan langkahku.

“jangan, gak usah! Gak apa-apa kok, kamu duduk saja.”

“tapi kan nanti jadi lebih berat. Apa kamu gak capek tiap hari seperti ini?”

“Cindy.. seorang pria gak akan pernah mengingkari janjinya sendiri, percayalah padaku.
Lagipula, kaki kamu mungkin belum sembuh benar.”

Terdiam beberapa detik, dan akhirnya sepeda pun melaju kembali dengan
kami yang menaikinya. Perlahan, sepeda ini menaiki tanjakan dengan Kagawa yang susah payah berdiri untuk mengayuhnya. Nafasnya mulai terengah dan wajahnya mulai dibasahi oleh keringat. Akhir tanjakan ini masih lama, karena masih harus menaiki 2 putaran lagi. Aku hanya bisa menatapnya dari belakang dengan rasa tidak enak hati.
Terlalu banyak pertanyaan di kepalaku, mengapa Ia sampai sebegini baiknya? Hanya dengan sebuah janji, semangatnya seolah tidak pernah menghilang. Ataukah Ia memang memiliki perasaan yang sama denganku? Dengan diriku yang selalu diam-diam mendengarkan apa yang sedang Ia bicarakan dengan orang lain di dalam kelas. Dengan diriku yang diam-diam selalu mengagumi senyum, tawa, suara, tatapan matanya dan sosok ‘berbeda’ dalam dirinya.

Aku memandang jauh ke depan, ke pemandangan dimana kota yang besar menjadi terlihat kecil dengan disinari cahaya matahari senja. Senja yang seolah hendak menyelimuti kami dengan warna jingganya. Tuhan, jika memang benar didalam hatinya ada diriku, jawablah perasaan ini. Namun jika memang Aku bukanlah sosok yang Ia harapkan untuk selalu ada di tiap mimpinya, biarkan kami tetap seperti ini, Aku tidak ingin lepaskan semua perasaan indah yang seringkali menyesakkan dadaku walaupun mungkin Ia hanya menganggapku sebagai teman sekelasnya saja, hingga suatu hari nanti waktu yang akan memisahkan kami.
Kagawa, aku terus menatapmu sedari tadi. Tidakkah kamu akan menoleh ke belakang dan tersenyum padaku? Peluh di wajahnya semakin banyak hingga membanjiri lehernya. Dan, syukurlah, tanjakan akan segera berakhir. Aku melihat jalan datar yang berada di atas sana, tak lama lagi. Tapi, dengan semua perasaan ini, apakah kamu tidak akan pernah menyadarinya?
Pantulan cahaya matahari mulai terlihat dari jalan datar di atas sana. Perlahan, ku pejamkan mataku dan kugerakkan kedua tangan ini untuk memeluk lembut dari belakang sosok yang selalu ku sukai secara diam-diam. Kusandarkan kepalaku ke pundaknya yang kokoh, wahai senja, bisakah tolong sampaikan padanya tentang semua perasaan yang memenuhi hatiku ini? Bahwa, sebenarnya aku tak ingin sepeda ini berhenti melaju, aku ingin terus seperti ini. Disinari mentari yang hangat, tolong dengarkan aku!
Di akhir tanjakan, tiba-tiba laju sepeda terhenti. Kagawa terdiam. Dengan heran, Ia menyadari pelukanku dan melepaskan kedua tangannya dari stang sepeda lalu memegang tanganku yang masih memeluknya. Ia pun menoleh kepadaku.

“kamu ngantuk?”

Tanpa memperdulikan pertanyaan itu, aku yang masih memeluknya dan menyandarkan kepalaku di punggungnya memilih untuk tetap terpejam dan terdiam.

“lelah ya? Sabar ya, sebentar lagi sampai. Maaf Aku memang lamban.”


Lagi-lagi ucapan yang tidak kuduga. Sebegitu tidak mengertikah Ia? Sepeda pun kembali melaju, namun aku masih memeluknya. Jingga berwarna semakin menyala. Lampu-lampu jalan yang terlewati sudah mulai menggantikan sinarnya dan Kagawa masih mengayuh sepeda ini. Tuhan, Aku tak ingin melepaskan pelukan ini. Dengan hati yang berdebar, akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya.


            “kamu pacaran sama Ayana?”


            Tersentak mendengar pertanyaanku, sepeda ini sedikit berhenti kerena rem yang Ia genggam. Namun, seperti tidak menyadari apapun, Ia hanya mengayuh dan menatap ke depan dengan sorotan mata yang tak terbaca. Akhirnya, kami sampai pada tujuan, rumahku. Setelah Aku turun dari sepeda, Iapun membelokkan arah sepedanya dan kembali mengayuh semakin menjauh. Dan, dari kejauhan Ia menoleh kepadaku lalu tersenyum, sampai sosoknya menghilang terhalang oleh tinggi jalan yang berbeda. Haripun semakin gelap, tetapi tanya milikku masih belum terpecahkan. Yang ada hanya hangat tubuhnya yang masih tersisa ditanganku.


Mencoba Membuat Fanfic :D


TERIMAKASIH, HUJAN


            Hari ini hari Sabtu dipertengahan bulan. Sabtu, hari yang selalu kunanti. Saat matahari yang menggantung mulai menurunkan dirinya perlahan. Terburu aku percepat langkahku menuju tempat yang selalu aku datangi dimana banyak menjual buku yang baru dan bahkan menyimpan buku-buku cetakan belasan tahun lalu. Tanpa peduli masih mengenakan seragam, aku selalu kesana tepat setelah bel pulang berbunyi. Walaupun dengan jarak cukup jauh –aku masih harus menaiki kendaraan umum untuk kesana- tapi tidak mengalahkan niatku untuk menemui seseorang yang bahkan aku tak tahu namanya. Entahlah, akupun tidak mengerti. Sudah 2 bulan terakhir hal ini seolah menjadi rutinitasku.

            Tanpa ragu, aku langkahkan kakiku kedalam toko buku dengan arsitektur kuno itu. Berjalan sedikit, seolah mencari-cari sebuah buku. Buku demi buku dengan segel terbuka, kubuka lembaran-lembarannya seolah membacanya sambil sesekali melirik jam tanganku. Harusnya, ini sudah saatnya anak laki-laki SMU itu datang kesini. Sebelumnya, ia selalu datang kesini untuk membaca buku-buku pelajaran tingkat SMA. Ya, aku masih bersekolah di SMP tingkat 3. Pemilik toko buku sudah mulai melihat ke arahku, Tuhan, jangan sampai ia mendekat kesini karena aku memang tidak berniat untuk membeli satupun buku disini. Untuk alihkan perhatiannya, aku berpura-pura menelfon seseorang, seperti aku sedang menunggunya padahal tidak seorangpun yang aku telfon.

            Menunggu membuatku termenung, teringatkan lagi akan peristiwa yang terjadi di waktu itu. Kala itu, aku datang kesini untuk membeli beberapa buku pelajaran lama. Kemudian, ia datang memasuki toko buku itu dengan biasa, sungguh biasa. Tanpa melihatnya, aku hanya mencari buku-buku. Setelah kutemukan beberapa buku yang kuinginkan,  aku berjalan ke arah kasir untuk membayar dan berjalan keluar toko buku tersebut. Cukup jauh aku dari toko buku itu dan sudah hendak menaiki bis, lalu kulihat ia berlari sambil menyeru padaku untuk berhenti.

“hey, ini milikmu kan?” ucapnya terengah sambil menyerahkan sesuatu. Ah! Itu ponselku! Tapi bagaimana bisa?

“eh? Terimakasih banyak ya, terimakasih.
Pasti tadi tertinggal ketika aku sedang memilih buku.
Tapi kamu tau dari mana kalau ini punyaku?”

“karena itu.” Jawabnya sambil menunjuk ke arah gelangku yang memiliki gantungan berbentuk teddy bear.

“gantungan itu sama dengan gantungan di ponselmu,
 maka dari itu ponsel ini pasti milikmu.”

            Setengah tidak percaya aku dengan jawabannya. Bagaimana mungkin orang itu bisa sebegitu ingat dengan gantungan dan gelangku padahal mungkin hanya sekali melihatku. Atau.. mungkin saja ia mengamatiku. Banyak tanya yang terlintas di benakku membuatku sedikit terdiam  menatapnya. Dan yang membuatku heran, ternyata masih ada orang yang baik seperti dia. Padahal mungkin saja jika orang lain yang menemukan ponselku, pasti akan mengambilnya. Belum lagi ponselku ini keluaran terbaru, tentu saja masih berharga lumayan jika dijual kembali.

“terimakasih banyak ya! Kalau ini sampai hilang, bisa celaka aku!”

“iya sama-sama.
Siapa namamu?”

Sambil menyodorkan tanganku dengan disertai senyuman, kuperkenalkan diriku.

“Nama saya Shania. Kamu?”

Menyambut senyum dan tanganku, ia pun menjawab.



“namaku..”




            Belum lengkap yang ia ucapkan, tiba-tiba ponsel miliknya berdering.

“halo?
Iya, baiklah saya akan segera kesana.
Maaf saya harus segera pergi, sampai jumpa.”

            Ia melambaikan tangannya dan bergegas pergi. Belum sempat ia melihat lambaian balasan dariku, tubuhnya sudah berbalik arah, meninggalkan aku yang masih terpaku di halte pinggir jalan. Rambut kecoklatan, alis tebal, dan paras tegap lebih tinggi dariku, itu yang kuingat dari sosoknya.

            Waktu berlalu sungguh terasa lama. Sudah hampir setengah jam aku menunggu di sini. Satu persatu pengunjung ku amati namun sosoknya tak kunjung terlihat, aku tidak tahu. Langitpun mulai gelap, awan pekat perlahan menutupi langit yang terang Ah, bodoh sekali aku ini, menunggu seseorang yang bahkan tidak ku kenal hanya untuk melihat senyumnya. Niat untuk kembali saja kerumah pun mulai ada di hatiku ketika aku menaruh buku yang kupegang ke raknya semula dan mulai berjalan ke pintu keluar. Sedikit bimbang di hati, pikiranku mulai ikut mengambil bagian. Bagaimana ketika aku pergi ia malah datang kesini? Sia-sia saja kalau begitu aku kesini. Ah, benar saja. Rintik hujan datang dan semakin deras yang menahanku untuk tetap disini, sial sekali!

Toko pun menjadi ramai dengan hanya deras bunyi hujan yang terdengar. Mendekati kursi di sudut bagian Koran, aku duduk. Dan tiba-tiba saja lonceng pintu toko buku berbunyi, pertanda ada yang datang. Pandanganku teralih, dan, ya Tuhan! Syukurlah itu dirinya! Dalam hatiku sungguh senang seperti ingin melompat setinggi-tingginya, namun aku hanya duduk menunduk sambil sesekali mencuri pandang padanya dan menyembunyikan senyum. Ia masuk dalam keadaan basah, membuka jas hitam seragamnya, dan melipatnya di lengan. Penjaga toko menyuruhnya untuk tidak memegang buku dengan tangan basah, ia hanya tersenyum dan mengangguk.

Ia berjalan kedalam, diikuti oleh pandanganku. Seperti mencari sesuatu dan menemukannya, ia melangkah ke arahku dan duduk di sampingku lalu mengeluarkan 2 buku pelajarannya dari tas yang basah. Dengan cepat aku mengeluarkan ponselku dan headset kemudian memakainya seolah hendak mendengarkan lagu padahal sebenarnya aku hanya tidak tau harus melakukan apa sedangkan detak jantung ini menjadi lebih cepat dan semakin cepat. Sungguh, aku menahan senyum yang seharusnya aku berikan saat ini juga sebagai ungkapan sapaan. Ia mengeluarkan saputangan dari tasnya, mengelap tangan dan mengeringkan rambutnya sementara aku hanya terdiam menunduk sambil memainkan ponselku.

Entah mengapa, dirinya semakin menarik perhatianku. Setiap gerak sederhana, membuatku ingin menyapanya, atau setidaknya sedikit senyumku mungkin bisa menghangatkan suasana ditengah dinginnya hujan ini. Hatiku ikut berbicara, tidakkah kamu dengar? Ayo cepat, sapa aku lebih dahulu! Tidakkah kamu tau? sudah sejak lama aku ingin mengenalmu, sudah beberapa kali aku sengaja kesini untuk menemuimu, kita selalu berada dalam diam. Tidakkah kamu juga ingin mengenalku? Atau kamu hanya menganggap aku anak SMP, tidak menarik bagimu? Atau bahkan kamu sama sekali tidak ingat padaku dan kejadian waktu itu?
           
            Tuhan, bodoh sekali aku ini, sangat bodoh dan aneh! Kenapa aku jadi bersikap seperti ini? Eh? Sepertinya tangannya sudah kering. Ia pun berdiri dan mulai berkeliling mencari, lalu membaca buku seperti yang biasa ia lakukan. Aku disini, hanya duduk mengamatinya dari jarak yang cukup. Kesal, tentu saja karena aku tidak bisa menyapanya lebih dahulu, ah susah sekali sih menjadi anak perempuan! Jika suka, hanya bisa menunggu.

            Lama kemudian, bunyi hujan mulai tidak terdengar, hujan yang mereda. Cepat sekali rasanya waktu berjalan ketika sedang tidak menunggu suatu hal. Baiklah, aku ingin pulang saja. Namun sepertinya, laki-laki itu pun akan pulang seperti aku. Sengaja aku terdiam dulu agar ia berjalan lebih dahulu dari aku. Setidaknya mungkin aku bisa melihatnya untuk sebentar lagi. Ia pun memakai tasnya dan membawa 2 buku lagi di tangannya. Tiba-tiba sesuatu jatuh dari buku yang dibawanya, kurasa tanpa Ia sadari. Tidak segera ku pungut, aku berpura-pura mengikat tali sepatu yang sudah terikat untuk mengambi benda itu yang ternyata adalah sebuah kartu pelajar. Sambil melangkah lebih riang di jalanan yang basah setelah hujan, aku bersenandung. Ah, terimakasih, hujan!


SMA ***
Nama             : Kyo Nakagawa
Kelas             : 3A
No. Induk     : 0456

Jumat, 18 Januari 2013

Mencoba Membuat Fanfic :D


SUATU HARI DI MUSIM PANAS


Siang hari di liburan musim panas seperti ini biasanya kebanyakan remaja hanya akan menghabiskan hari di depan kipas angin atau di dalam ruangan berpendingin, tapi tidak denganku. Mungkin 1 tahun lalu aku masih melakukan itu, tetapi semua berubah semenjak kedatangan seseorang di hidupku. Ya, seorang anak laki-laki yang pindah ke kotaku 1 tahun lalu. Dan entah bagaimana caranya, kini, Ia adalah alasan dari banyak hal menyenangkan dari hidupku.
             Tanpa memperdulikan terik matahari yang menyengat, kupercepat kayuhan sepedaku menuju dermaga. Jarak antara rumahku dengan dermaga memang tidak dekat tapi akupun tak begitu mengerti mengapa tak terpikir di benakku untuk berbalik arah dan pulang saja untuk meminum 2 botol jus lemon dingin yang kubawa ini. Yang ada di benakku hanya bayang senyum riangnya yang berpeluh dan suara teriakannya dari sisi bawah dermaga ketika melihatku mencari-cari sosoknya untuk membawakannya sesuatu, selalu seperti itu.

“Ayanaaa! Sebelah sini!” terdengar suara yang ku kenal.

“hari ini bawa apa?
  Bilang ke Ibu kamu, ‘terimakasih’ ya!”

“loh? Kok bilangnya ke Ibu aku? Kan aku yang bawa ini..”

“haha, iya terimakasih ya. Maaf selalu bikin repot.”

“iya sama-sama, kan udah biasa.
  Kerjaannya udah selesai?”

“belum, ini lagi istirahat dulu. Kamu itu selalu datang tepat waktu ya.”

“bukannya bagus ya? Ya udah kalo ga seneng, aku pulang aja.” Aku berbalik melangkah, sedikit berharap ia akan menahan langkahku.

“ya udah pulang aja sana.” Ucapnya datar.

Langkahku pun semakin menjauh tetapi Ia tidak menahanku. Aku kesal, karena sebenarnya masih ingin lebih lama bertemu dengannya. Ah, bodoh sekali aku ini. Ingin kembali pun malu rasanya. Akhirnya kunaiki sepeda tuaku dan mengayuhnya dengan rasa marah, untuk pulang ke rumah. Kayuh, kayuh, kayuh lebih cepat. Angin berhembus ke arahku sungguh menyejukkan. Terkadang ku pejamkan mata untuk menikmati dinginnya.

Dulu ketika aku baru mengenalnya, jangankan mengobrol seperti tadi, untuk menatap matanya saja aku tidak berani. Ya, aku memang pemalu pada siapapun juga. Aku masih ingat ketika pertama kali ibu menyuruhku untuk membawakan Ia makanan dan minuman di sela pekerjaannya sebagai buruh angkut barang di dermaga hanya pada liburan musim panas. Ia sedikit heran melihatku ketika aku memberikan makanan dan minuman dingin untuknya, tetapi Ia pun tersenyum dan mengelus kepalaku seraya mengucap terimakasih. Keramahannya hari itu, yang mungkin membuatku mulai menyukainya.

Kagawa sudah tidak memiliki ibu, Ia hanya tinggal dengan Ayahnya dan adik laki-lakinya. Siang hari ayah Kagawa bekerja dan adiknya dititipkan di rumahku, begitu juga dengan Kagawa. Tetapi Ia jarang sekali berkunjung ke rumahku, hanya pernah sekali ketika Ayahnya menyuruhnya untuk membantu Ayahku merenovasi rumah. Ketika ia datang hari itu, ia hanya diam dan membantu, tidak menyapaku. Dari jendela kamarku di lantai atas, aku mengamatinya. Tentu saja sembunyi-sembunyi.
Dengan cekatan Ia membantu ayahku membawa balok-balok kayu, memperbaiki pagar, mengecat dinding, dan memperbaiki atap. Untuk memperbaiki atap rumah, harus naik melalui jendela kamarku. Aku yang ketika itu sedang sigap, tentu saja mendengar langkah kakinya menaiki tangga menuju kamarku. Tetapi begitu langkahnya terdengar sudah di depan pintu kamarku, Ia terdiam. Terdiam cukup lama. Dan cukup lama pula aku menunggu Ia mengetuk pintu kamarku. Tetapi ia hanya diam. Degup jantungku semakin kencang. Akhirnya, rasa penasaran membuatku memberanikan diri untuk membuka pintu terlebih dahulu. Dan kulihat Ia yang duduk membelakangi pintu kamarku. Lagi, kuberanikan diri untuk bertanya padanya.

“kamu lagi apa?” ucapku yang tak tau harus berkata apa. Dengan sedikit terkejut, ia berdiri dan menjawab tanyaku.

“ah.. ngg.. ngga, aku cuma lagi nunggu ayahmu kesini.
  Ia nyuruh aku buat memperbaiki atap, atau mungkin nanti saja kali ya.” Ia melangkah hendak menuruni tangga. Dengan cepat aku menyela

“eh, ga apa-apa kok. Ke sini aja, lewat sini.” Aku mempersilahkannya masuk, kemudian menuruni tangga. Namun Ia tidak beranjak dari tempatnya untuk masuk ke kamarku. Ah, mungkin dia malu untuk memasuki kamarku. Ayah ada di ruang depan, akupun mengatakan padanya bahwa Kagawa menunggu di atas dan ayah bergegas ke lantai atas. Aku mengikuti ayah dari belakang. Melihat Ayah datang dan mengajak Kagawa untuk ke atap, Kagawa pun baru memasuki kamarku dan memanjat ke jendela. Kagawa ketika itu, yang menyeimbangkan diri dan memperbaiki atap, mungkin ini terdengar aneh, tetapi ia terlihat sedikit bersinar ditengah tekun sosoknya.

Tiba-tiba, seseorang bersepeda menyalip sepedaku dari arah kanan, memanggilku dan membuyarkan lamunanku. Ah itu Kagawa lagi. Tanpa menghentikan laju sepedaku, aku memulai pembicaraan.

“mau apa kamu?” tanyaku ketus.
“soal yang tadi, maafin ya. Berhenti dulu dong, aku mau bicara.”
“ga mau, soal apa?”
“makanya berhenti dulu”

Terpaksa kuhentikan sepedaku, Iapun begitu. Sepedanya berhenti di sebelah sepedaku.
“kamu tau ga rumahnya Nadila?”
“maksudnya Beby? Iya tau, ada apa?”
            “antar aku ke sana yuk!”
“buat apa?”
            “hari ini dia ulangtahun, aku mau kasih ini.” Ia pun menunjukkan sebuah benda persegi panjang yang dibungkus rapi dengan kertas hias, kurasa isinya coklat.

“tapi taruh di depan rumahnya saja ya, aku ga berani buat kasih langsung.”

“kamu suka sama dia?” pertanyaan itu langsung begitu saja terucap dari lisanku, entah mengapa. Beberapa detik kemudian aku baru menyadari betapa bodohnya pertanyaanku tadi. Tak kusangka, dengan senyum yang lebih indah dari biasanya Ia menjawab

“iya. Dia cantik ya, aku suka senyumnya.”

Untuk beberapa saat, aku terdiam.

“yuk kesana, panas nih.”
“benar mau antar? Wah terimakasih banyak ya!
  Kamu memang teman yang paling baik!”

Kembali aku mengayuh sepeda ini, rasanya lebih berat dari biasanya. Sepertinya begitu juga dengan musim panas dan hari-hariku selanjutnya, yang akan terasa lebih berat dari biasanya.