Jumat, 18 Januari 2013

Mencoba Membuat Fanfic :D


SUATU HARI DI MUSIM PANAS


Siang hari di liburan musim panas seperti ini biasanya kebanyakan remaja hanya akan menghabiskan hari di depan kipas angin atau di dalam ruangan berpendingin, tapi tidak denganku. Mungkin 1 tahun lalu aku masih melakukan itu, tetapi semua berubah semenjak kedatangan seseorang di hidupku. Ya, seorang anak laki-laki yang pindah ke kotaku 1 tahun lalu. Dan entah bagaimana caranya, kini, Ia adalah alasan dari banyak hal menyenangkan dari hidupku.
             Tanpa memperdulikan terik matahari yang menyengat, kupercepat kayuhan sepedaku menuju dermaga. Jarak antara rumahku dengan dermaga memang tidak dekat tapi akupun tak begitu mengerti mengapa tak terpikir di benakku untuk berbalik arah dan pulang saja untuk meminum 2 botol jus lemon dingin yang kubawa ini. Yang ada di benakku hanya bayang senyum riangnya yang berpeluh dan suara teriakannya dari sisi bawah dermaga ketika melihatku mencari-cari sosoknya untuk membawakannya sesuatu, selalu seperti itu.

“Ayanaaa! Sebelah sini!” terdengar suara yang ku kenal.

“hari ini bawa apa?
  Bilang ke Ibu kamu, ‘terimakasih’ ya!”

“loh? Kok bilangnya ke Ibu aku? Kan aku yang bawa ini..”

“haha, iya terimakasih ya. Maaf selalu bikin repot.”

“iya sama-sama, kan udah biasa.
  Kerjaannya udah selesai?”

“belum, ini lagi istirahat dulu. Kamu itu selalu datang tepat waktu ya.”

“bukannya bagus ya? Ya udah kalo ga seneng, aku pulang aja.” Aku berbalik melangkah, sedikit berharap ia akan menahan langkahku.

“ya udah pulang aja sana.” Ucapnya datar.

Langkahku pun semakin menjauh tetapi Ia tidak menahanku. Aku kesal, karena sebenarnya masih ingin lebih lama bertemu dengannya. Ah, bodoh sekali aku ini. Ingin kembali pun malu rasanya. Akhirnya kunaiki sepeda tuaku dan mengayuhnya dengan rasa marah, untuk pulang ke rumah. Kayuh, kayuh, kayuh lebih cepat. Angin berhembus ke arahku sungguh menyejukkan. Terkadang ku pejamkan mata untuk menikmati dinginnya.

Dulu ketika aku baru mengenalnya, jangankan mengobrol seperti tadi, untuk menatap matanya saja aku tidak berani. Ya, aku memang pemalu pada siapapun juga. Aku masih ingat ketika pertama kali ibu menyuruhku untuk membawakan Ia makanan dan minuman di sela pekerjaannya sebagai buruh angkut barang di dermaga hanya pada liburan musim panas. Ia sedikit heran melihatku ketika aku memberikan makanan dan minuman dingin untuknya, tetapi Ia pun tersenyum dan mengelus kepalaku seraya mengucap terimakasih. Keramahannya hari itu, yang mungkin membuatku mulai menyukainya.

Kagawa sudah tidak memiliki ibu, Ia hanya tinggal dengan Ayahnya dan adik laki-lakinya. Siang hari ayah Kagawa bekerja dan adiknya dititipkan di rumahku, begitu juga dengan Kagawa. Tetapi Ia jarang sekali berkunjung ke rumahku, hanya pernah sekali ketika Ayahnya menyuruhnya untuk membantu Ayahku merenovasi rumah. Ketika ia datang hari itu, ia hanya diam dan membantu, tidak menyapaku. Dari jendela kamarku di lantai atas, aku mengamatinya. Tentu saja sembunyi-sembunyi.
Dengan cekatan Ia membantu ayahku membawa balok-balok kayu, memperbaiki pagar, mengecat dinding, dan memperbaiki atap. Untuk memperbaiki atap rumah, harus naik melalui jendela kamarku. Aku yang ketika itu sedang sigap, tentu saja mendengar langkah kakinya menaiki tangga menuju kamarku. Tetapi begitu langkahnya terdengar sudah di depan pintu kamarku, Ia terdiam. Terdiam cukup lama. Dan cukup lama pula aku menunggu Ia mengetuk pintu kamarku. Tetapi ia hanya diam. Degup jantungku semakin kencang. Akhirnya, rasa penasaran membuatku memberanikan diri untuk membuka pintu terlebih dahulu. Dan kulihat Ia yang duduk membelakangi pintu kamarku. Lagi, kuberanikan diri untuk bertanya padanya.

“kamu lagi apa?” ucapku yang tak tau harus berkata apa. Dengan sedikit terkejut, ia berdiri dan menjawab tanyaku.

“ah.. ngg.. ngga, aku cuma lagi nunggu ayahmu kesini.
  Ia nyuruh aku buat memperbaiki atap, atau mungkin nanti saja kali ya.” Ia melangkah hendak menuruni tangga. Dengan cepat aku menyela

“eh, ga apa-apa kok. Ke sini aja, lewat sini.” Aku mempersilahkannya masuk, kemudian menuruni tangga. Namun Ia tidak beranjak dari tempatnya untuk masuk ke kamarku. Ah, mungkin dia malu untuk memasuki kamarku. Ayah ada di ruang depan, akupun mengatakan padanya bahwa Kagawa menunggu di atas dan ayah bergegas ke lantai atas. Aku mengikuti ayah dari belakang. Melihat Ayah datang dan mengajak Kagawa untuk ke atap, Kagawa pun baru memasuki kamarku dan memanjat ke jendela. Kagawa ketika itu, yang menyeimbangkan diri dan memperbaiki atap, mungkin ini terdengar aneh, tetapi ia terlihat sedikit bersinar ditengah tekun sosoknya.

Tiba-tiba, seseorang bersepeda menyalip sepedaku dari arah kanan, memanggilku dan membuyarkan lamunanku. Ah itu Kagawa lagi. Tanpa menghentikan laju sepedaku, aku memulai pembicaraan.

“mau apa kamu?” tanyaku ketus.
“soal yang tadi, maafin ya. Berhenti dulu dong, aku mau bicara.”
“ga mau, soal apa?”
“makanya berhenti dulu”

Terpaksa kuhentikan sepedaku, Iapun begitu. Sepedanya berhenti di sebelah sepedaku.
“kamu tau ga rumahnya Nadila?”
“maksudnya Beby? Iya tau, ada apa?”
            “antar aku ke sana yuk!”
“buat apa?”
            “hari ini dia ulangtahun, aku mau kasih ini.” Ia pun menunjukkan sebuah benda persegi panjang yang dibungkus rapi dengan kertas hias, kurasa isinya coklat.

“tapi taruh di depan rumahnya saja ya, aku ga berani buat kasih langsung.”

“kamu suka sama dia?” pertanyaan itu langsung begitu saja terucap dari lisanku, entah mengapa. Beberapa detik kemudian aku baru menyadari betapa bodohnya pertanyaanku tadi. Tak kusangka, dengan senyum yang lebih indah dari biasanya Ia menjawab

“iya. Dia cantik ya, aku suka senyumnya.”

Untuk beberapa saat, aku terdiam.

“yuk kesana, panas nih.”
“benar mau antar? Wah terimakasih banyak ya!
  Kamu memang teman yang paling baik!”

Kembali aku mengayuh sepeda ini, rasanya lebih berat dari biasanya. Sepertinya begitu juga dengan musim panas dan hari-hariku selanjutnya, yang akan terasa lebih berat dari biasanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar