SUATU HARI DI
MUSIM PANAS
Siang hari
di liburan musim panas seperti ini biasanya kebanyakan remaja hanya akan
menghabiskan hari di depan kipas angin atau di dalam ruangan berpendingin, tapi
tidak denganku. Mungkin 1 tahun lalu aku masih melakukan itu, tetapi semua
berubah semenjak kedatangan seseorang di hidupku. Ya, seorang anak laki-laki
yang pindah ke kotaku 1 tahun lalu. Dan entah bagaimana caranya, kini, Ia
adalah alasan dari banyak hal menyenangkan dari hidupku.
Tanpa
memperdulikan terik matahari yang menyengat, kupercepat kayuhan sepedaku menuju
dermaga. Jarak antara rumahku dengan dermaga memang tidak dekat tapi akupun tak
begitu mengerti mengapa tak terpikir di benakku untuk berbalik arah dan pulang
saja untuk meminum 2 botol jus lemon dingin yang kubawa ini. Yang ada di benakku
hanya bayang senyum riangnya yang berpeluh dan suara teriakannya dari sisi
bawah dermaga ketika melihatku mencari-cari sosoknya untuk membawakannya
sesuatu, selalu seperti itu.
“Ayanaaa!
Sebelah sini!” terdengar suara yang ku kenal.
“hari ini
bawa apa?
Bilang ke Ibu kamu, ‘terimakasih’ ya!”
“loh? Kok
bilangnya ke Ibu aku? Kan aku yang bawa ini..”
“haha, iya
terimakasih ya. Maaf selalu bikin repot.”
“iya
sama-sama, kan udah biasa.
Kerjaannya udah selesai?”
“belum,
ini lagi istirahat dulu. Kamu itu selalu datang tepat waktu ya.”
“bukannya
bagus ya? Ya udah kalo ga seneng, aku pulang aja.” Aku berbalik melangkah,
sedikit berharap ia akan menahan langkahku.
“ya udah
pulang aja sana.” Ucapnya datar.
Langkahku pun
semakin menjauh tetapi Ia tidak menahanku. Aku kesal, karena sebenarnya masih
ingin lebih lama bertemu dengannya. Ah, bodoh sekali aku ini. Ingin kembali pun
malu rasanya. Akhirnya kunaiki sepeda tuaku dan mengayuhnya dengan rasa marah,
untuk pulang ke rumah. Kayuh, kayuh, kayuh lebih cepat. Angin berhembus ke
arahku sungguh menyejukkan. Terkadang ku pejamkan mata untuk menikmati
dinginnya.
Dulu
ketika aku baru mengenalnya, jangankan mengobrol seperti tadi, untuk menatap
matanya saja aku tidak berani. Ya, aku memang pemalu pada siapapun juga. Aku
masih ingat ketika pertama kali ibu menyuruhku untuk membawakan Ia makanan dan
minuman di sela pekerjaannya sebagai buruh angkut barang di dermaga hanya pada
liburan musim panas. Ia sedikit heran melihatku ketika aku memberikan makanan
dan minuman dingin untuknya, tetapi Ia pun tersenyum dan mengelus kepalaku
seraya mengucap terimakasih. Keramahannya hari itu, yang mungkin membuatku
mulai menyukainya.
Kagawa
sudah tidak memiliki ibu, Ia hanya tinggal dengan Ayahnya dan adik
laki-lakinya. Siang hari ayah Kagawa bekerja dan adiknya dititipkan di rumahku,
begitu juga dengan Kagawa. Tetapi Ia jarang sekali berkunjung ke rumahku, hanya
pernah sekali ketika Ayahnya menyuruhnya untuk membantu Ayahku merenovasi rumah.
Ketika ia datang hari itu, ia hanya diam dan membantu, tidak menyapaku. Dari
jendela kamarku di lantai atas, aku mengamatinya. Tentu saja sembunyi-sembunyi.
Dengan
cekatan Ia membantu ayahku membawa balok-balok kayu, memperbaiki pagar,
mengecat dinding, dan memperbaiki atap. Untuk memperbaiki atap rumah, harus
naik melalui jendela kamarku. Aku yang ketika itu sedang sigap, tentu saja
mendengar langkah kakinya menaiki tangga menuju kamarku. Tetapi begitu
langkahnya terdengar sudah di depan pintu kamarku, Ia terdiam. Terdiam cukup
lama. Dan cukup lama pula aku menunggu Ia mengetuk pintu kamarku. Tetapi ia
hanya diam. Degup jantungku semakin kencang. Akhirnya, rasa penasaran membuatku
memberanikan diri untuk membuka pintu terlebih dahulu. Dan kulihat Ia yang
duduk membelakangi pintu kamarku. Lagi, kuberanikan diri untuk bertanya
padanya.
“kamu lagi
apa?” ucapku yang tak tau harus berkata apa. Dengan sedikit terkejut, ia
berdiri dan menjawab tanyaku.
“ah..
ngg.. ngga, aku cuma lagi nunggu ayahmu kesini.
Ia nyuruh aku buat memperbaiki atap, atau mungkin
nanti saja kali ya.” Ia melangkah hendak menuruni tangga. Dengan cepat aku
menyela
“eh, ga
apa-apa kok. Ke sini aja, lewat sini.” Aku mempersilahkannya masuk, kemudian
menuruni tangga. Namun Ia tidak beranjak dari tempatnya untuk masuk ke kamarku.
Ah, mungkin dia malu untuk memasuki kamarku. Ayah ada di ruang depan, akupun
mengatakan padanya bahwa Kagawa menunggu di atas dan ayah bergegas ke lantai
atas. Aku mengikuti ayah dari belakang. Melihat Ayah datang dan mengajak Kagawa
untuk ke atap, Kagawa pun baru memasuki kamarku dan memanjat ke jendela. Kagawa
ketika itu, yang menyeimbangkan diri dan memperbaiki atap, mungkin ini
terdengar aneh, tetapi ia terlihat sedikit bersinar ditengah tekun sosoknya.
Tiba-tiba,
seseorang bersepeda menyalip sepedaku dari arah kanan, memanggilku dan
membuyarkan lamunanku. Ah itu Kagawa lagi. Tanpa menghentikan laju sepedaku,
aku memulai pembicaraan.
“mau apa
kamu?” tanyaku ketus.
“soal yang
tadi, maafin ya. Berhenti dulu dong, aku mau bicara.”
“ga mau,
soal apa?”
“makanya
berhenti dulu”
Terpaksa
kuhentikan sepedaku, Iapun begitu. Sepedanya berhenti di sebelah sepedaku.
“kamu tau
ga rumahnya Nadila?”
“maksudnya
Beby? Iya tau, ada apa?”
“antar aku ke sana yuk!”
“antar aku ke sana yuk!”
“buat
apa?”
“hari ini dia ulangtahun, aku mau kasih ini.” Ia pun menunjukkan sebuah benda persegi panjang yang dibungkus rapi dengan kertas hias, kurasa isinya coklat.
“hari ini dia ulangtahun, aku mau kasih ini.” Ia pun menunjukkan sebuah benda persegi panjang yang dibungkus rapi dengan kertas hias, kurasa isinya coklat.
“tapi
taruh di depan rumahnya saja ya, aku ga berani buat kasih langsung.”
“kamu suka
sama dia?” pertanyaan itu langsung begitu saja terucap dari lisanku, entah
mengapa. Beberapa detik kemudian aku baru menyadari betapa bodohnya
pertanyaanku tadi. Tak kusangka, dengan senyum yang lebih indah dari biasanya
Ia menjawab
“iya. Dia
cantik ya, aku suka senyumnya.”
Untuk
beberapa saat, aku terdiam.
“yuk
kesana, panas nih.”
“benar mau
antar? Wah terimakasih banyak ya!
Kamu memang teman yang paling baik!”
Kembali
aku mengayuh sepeda ini, rasanya lebih berat dari biasanya. Sepertinya begitu
juga dengan musim panas dan hari-hariku selanjutnya, yang akan terasa lebih
berat dari biasanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar