Senin, 22 April 2013

Mencoba Membuat Fanfic :D

DENGARLAH DENGAN HATIMU


            Pagi ini, kembali kutemukan setangkai bunga mawar di jendela kamarku yang berada di lantai 2. Entah siapa yang menaruhnya disana. Seperti biasa, mawar itu kemudian ku simpan dalam sebuah stoples kaca tanpa tutup di meja belajar dalam kamarku. Sudah hampir selusin mawar didalamnya. Sesampainya di sekolah, Aku bercerita kepada teman dekatku di kelas.

            “Nal, masa hari ini ada yang kasih Aku mawar lagi.”

            “oh ya? Di jendela kamar lagi?”

            “Iya.”

            “Nah! Berarti pengirimnya masih orang yang sama!”

            “tapi siapa? Lagipula, buat apa juga..”

            “kamu bodoh ya? Itu pasti si Kagawa!”

            “apa sih.. Jangan sok tau lagi deh.”

            “kamu gak dengar ya? Gosip tentang ini sudah terdengar ke seluruh sekolah!”

            “gosip apa?”

“ya tentang Kagawa, anak laki-laki yang kelasnya di sebelah kelas kita itu, katanya dia suka sama kamu. Masa iya kamu gak tau?”

“Loh? Kagawa yang pacarnya Ayana itu ya?”

“eh, dia bukan pacarnya Ayana loh.”

“ah, masa iya Dia suka ke Aku. Kalau berpapasan saja Cuma diam, bagaimana bisa? Lagipula, bukannya memang banyak ya, anak perempuan yang diam-diam suka sama dia?”

“iya juga sih, tapi itu kan bukan berarti dia gak suka sama kamu. Kenapa gak coba cari tau, Nad?”

“malas, ah. Lagipula, sepertinya dia itu playboy.”

“eh? kenapa kamu berpikir begitu? Dia kan baik.”

“ya baiknya ke semua perempuan, itu berarti dia gak setia. Coba kamu lihat, dia kan katanya dekat sama Ayana kan? Tapi kenapa belum jadian juga? Itu berarti dia gak mau terikat sama pacaran, alias playboy!”

“wah sadis juga ya omonganmu, kalau Dia dengar bisa sakit hati tuh nantinya haha..”

kok sadis? Aku kan Cuma bilang yang sebenarnya aja.”

“tapi kalau menurutku sih, dia itu memang baik beneran loh. Buktinya, memang bukan perempuan saja kan yang sering dia baikin? Lagipula, kurasa Dia ramah. Mungkin, karena Dia suka sama kamu jadi Dia diam saja kalau ketemu kamu, grogi gitu.”

            Pembicaraan kami terhenti tiba-tiba karena Guru telah masuk ke kelas dan pelajaran pun dimulai. Di sela Guru yang menerangkan pelajaran, sedikit terlintas di benakku tentang Kagawa itu. Apa benar Ia menyukaiku? Walaupun teman-temanku bilang dia memang orang yang baik, tetapi entah mengapa Aku tidak berpikiran yang sama dengan mereka. Bahkan aku pernah mendengar kalau Ia sering mengantarkan seorang anak perempuan dengan sepeda. Eh? Kenapa aku jadi memikirkan Dia? Sudahlah.
            Waktu pulang sekolah pun tiba, tetapi hari ini giliran ku untuk membersihkan kelas. Setelah semua siswa keluar ruangan, aku baru akan membersihkan kelas. Tetapi, rasa lapar ternyata lebih bisa mengendalikanku. Akhirnya kuputuskan untuk pergi makan ke kantin sekolah terlebih dahulu dan akan membersihkan kelas setelahnya. Mungkin tidak akan memakan waktu lama. Akupun berjalan ke kantin sekolah.
            Semoga saja penjaga kantin masih membuka kantinnya, karena rasa lapar ini sungguh membuatku tidak bisa melakukan apapun sebelum makan sesuatu. Menuruni tangga, dan berbelok, aku sampai di kantin sekolah. Kulayangkan pandanganku untuk melihat ke sekeliling kantin sambil memikirkan makanan apa yang akan kubeli. Tiba-tiba pandanganku terhenti kepada sosok anak perempuan yang sedang memesan makanan di meja pemesanan, bukankah itu Ayana? Mengapa jam segini Ia belum pulang ke rumah? daripada berlama-lama, berjalanlah aku menghampiri Ayana. Siapa tahu kita bisa makan bersama? Untunglah bukan aku saja yang berada disini.

            “Ayana, pesan apa?” sapa ku sambil menepuk bahu Ayana.

            “eh, Nadila. Aku pesan mie goreng, kamu mau pesan apa?”

            “aku nasi goreng aja.”

            Kami pun duduk bersama di bangku yang terpasang pada meja kantin. Daripada diam yang menghampiri kami, aku memilih untuk mencairkan suasana terebih dahulu karena sepertinya Ayana sedikit pendiam.

            “kenapa belum pulang, Ay?”

            “tadi aku habis membersihkan kelas dulu. Kamu kenapa belum pulang?”
           
            “sama, aku juga, tapi baru mau membersihkan kelas.
Aku kira kamu punya alasan lain..  ahaha”

            “alasan lain? Maksudnya?”

            “seperti menunggu Kagawa untuk pulang bersama.. hihi”

            “eh? Tidak kok.. kenapa kamu berpikir begitu?”

            “bukannya kamu pacarnya Kagawa, ya?”

            “eh? Ah.. bukan.. bukan.. aku bukan pacarnya Kagawa kok!”

            “tapi kalian kan dekat sekali, kenapa tidak berpacaran saja?
            Atau... Kagawa tidak kunjung menyatakan perasaaannya padamu?”

            Ayana terdiam dan mengalihkan wajahnya dariku seolah tidak mendengar ucapanku yang tadi. Pandangan matanya mendadak berubah. Ah, sepertinya pertanyaanku tidak akan dijawab olehnya. Aku jadi merasa tidak enak hati telah menanyakan hal yang tidak pantas seperti tadi.

            “eh.. maaf kalau aku terlalu ikut campur ya..
            Tapi kalau menurutku, gak ada salahnya kan seorang perempuan menyatakan perasaannya duluan?
Daripada selamanya tidak mengetahui apapun, setidaknya dia tau..
Rasa suka itu kan perasaan yang istimewa, sayang kalau tidak diungkapkan, kan?”

“ih.. apa sih, Beby kok ngomongnya begitu? Aku gak suka kok sama Dia.
Kita kan Cuma bertetangga aja! Udah ada seseorang di hati aku.
Lagipula, Dia sukanya sama orang lain kok..”

Terlihat jelas pandangan mata Ayana yang mendadak berubah lagi. Sepertinya Ia telah salah mengatakan sesuatu padaku. Aku yang terpancing ucapannya pun secara singkat menanggapinya dengan pertanyaan.

“loh? Si playboy itu bisa menyukai seseorang? Siapa?”

Ayana terdiam lagi. Kali ini pandangan matanya terlihat berkeliling layaknya berpikir mencari jawaban yang akan diutarakan padaku. Pembicaraan ini semakin membuatku penasaran, sepertinya aku akan bertanya lebih banyak lagi. Namun, seolah hendak memotong pembicaraan, pramusaji datang mendekati kami membawa makanan yang telah kami pesan dan menyajikannya di meja. Kutuangkan  saus sambal cukup banyak dan tanpa basa-basi, akupun menyantap hidangan itu selagi masih hangat.

“kamu suka sama makanan pedas ya?” Tanya Ayana padaku. Ah, sepertinya Ia hendak  mengalihkan pembicaraanku. Padahal aku penasaran sekali dengan jawabannya, mungkin saja Ayana akan bercerita sedikit tentang gosip itu. Ya, gosip yang mengatakan bahwa Kagawa itu menyukaiku, siapa tahu saja itu benar. Eh? Kenapa aku jadi penasaran dengan hal yang tidak penting begini? Akupun mulai merasakan ada keanehan dalam hati ini. Padahal seharusnya aku tidak se-penasaran ini.
“iya aku cukup suka kok, hehe kelihatan ya?”

Tidak memakan waktu lama, nasi goreng di piringku pun sudah habis aku santap. Aku bersiap untuk membayar dan kembali untuk membersihkan kelas. Aku pun berdiri untuk pergi lebih dahulu dari Ayana yang masih menyantap makanannya.

“aku duluan ya, Ay.”

“iya.”

Baru beberapa langkah dari meja, dengan suara agak keras, Ayana mengatakan sesuatu seolah ingin aku mengetahui akan sesuatu.

“Beby.. hati itu akan jauh lebih mendengar daripada telinga.”

Aku yang bingung akan sepenggal ucapan itu sontak menghentikan langkahku dan bertanya

“hah? Maksudnya?”

Kemudian, Ayana hanya tersenyum dan menggeleng, lalu melanjutkan lagi untuk makan. Karena bingung, aku memilih untuk melangkah pergi menuju meja kasir, membayar, dan berjalan kembali ke kelas.

Ketika hendak memasuki pintu ruangan kelas, tiba-tiba aku bertabrakan dengan seorang anak laki-laki yang hendak keluar dari ruangan kelasku. Kudongakkan pandanganku untuk melihat wajah laki-laki itu, dan kudapati Kagawa yang memandangku dengan tatapan terkejut.

“maaf, aku gak sengaja.”

“iya, gak apa-apa, Kagawa. Lagipula, aku juga salah tidak memperhatikan jalan.”

Astaga, kulihat kedalam kelas, dan ternyata kelas telah dalam keadaan bersih. Coretan spidol di papan tulis telah dibersihkan, lantai kelas telah dipel, dan kaca-kaca telah di lap bersih. Tanpa berfikir panjang, aku lantas bertanya pada Kagawa karena sepertinya hanya Ia yang berada di kelas ini, atau mungkin sejak tadi Ia telah berada di sini.

“kamu yang bersihin kelas ini?”

Seperti gugup, beberapa kali Kagawa memutar pandangannya sebelum menjawab pertanyaanku. Yup, aku yakin dialah yang telah membersihkan kelas ini. Ah, beruntung sekali pekerjaanku sudah selesai dengan sekejap mata.

“terimakasih banyak ya! Ah, senang sekali pekerjaanku selesai!” ucapku pada Kagawa sambil menggengam dan mengguncang-guncang kedua lengannya. Tapi, Ia hanya tersenyum. Aku berjalan untuk mengambil tasku yang berada di meja di tengah kelas. Bersih sekali ruangan ini, walaupun sebenarnya dalam hati ini aku merasa heran dengannya, tapi tak apalah, yang penting pekerjaanku selesai.

“mau pulang bareng gak?” ajak Kagawa yang berdiri di depan papan tulis kelasku. Akhirnya bicara juga Dia. Akupun mengangguk dan berjalan bersamanya untuk keluar dari ruang kelas. Sejujurnya, aku merasa aneh dengan apa yang Ia lakukan, tapi tak berani untuk bertanya. Nanti takutnya Ia malah merasa aku terlalu banyak bicara padahal sudah dibantu olehnya.
Kamipun berjalan, melewati lorong-lorong kelas, menuruni tangga, hingga ke pagar depan sekolah, namun tidak sepatah katapun yang kami ucapkan. Aku hanya berani mencuri pandang dari dirinya. Juga Ia pun sepertinya hanya memandang ke depan, dan berjalan dengan tangan kanan di dalam saku celananya sementara tangan kiri memegang tali tas punggung yang Ia bawa. Sampai akhirnya Ia yang memulai percakapan diantara kami.

“mau aku antar sampai kerumah?”

Sedikit terkejut aku mendengar pertanyaanya, terus terang sekali Dia ini. Sepertinya Ia tidak memperdulikan tatapan heranku padanya, Ia tetap menatap mataku seperti menunggu jawaban dariku. Dan seperti tersihir, akupun mengangguk tanda setuju. Kemudian Ia berbalik arah untuk mengambil sepedanya. Aku menunggu dengan diliputi perasaan aneh. Ada apa dengan diriku? Kenapa aku mau diantar pulang olehnya?

Sebuah benda dingin berair tiba-tiba menempel di pipiku. Aduh! Dingin! Ternyata adalah sebotol air mineral dingin yang ditempelkan oleh Kagawa dari belakang tepat di pipiku. Kagawa tertawa. Gerak tangan Kagawa seolah memberikan air mineral itu untukku, akupun menoleh dan melihatnya sedikit menganggukan kepalanya. Tersenyum aneh, aku menerima air mineral itu.

Sepeda, yang dinaiki kami berdua melaju menuju rumahku. Padahal aku tidak mengatakan arah rumahku, Dan akupun semakin yakin, Dialah yang selalu menaruh mawar di jendela kamarku. Dan, sedikit-demi sedikit aku menyadari, sepertinya aku mulai menyukai sosok si aneh ini. Ah, biarlah, aku ingin menikmati saat-saat bahagia seperti ini dulu, siapa tau akan berlanjut? Baiklah Ayana, mulai sekarang, aku akan mendengarkan banyak hal menggunakan hati ini.



*****


Mencoba Membuat Fanfic :D

PERASAAN DITENGAH HUJAN


            Berjalan pulang ditengah hari yang selalu hujan, selalu membuat hati setiap orang menjadi sedikit melankolis. Kurasa hujan banyak membuat orang-orang menjadi merasa sedih, dan sepertinya termasuk aku. Jalanan menjadi sepi, hanya mobil-mobil yang melewatinya, walaupun memakai payungpun tetap akan terasa segan untuk berjalan karena akan membuat sepatu menjadi basah dan terasa dingin. Juga tidak ada yang bisa dilihat saat hujan, kecuali air hujan yang turun ke bumi dan langit yang gelap. Langkah-langkahku menghindari genangan air saat ini pun sepertinya percuma saja.

            Tetapi, langkahku terhenti saat kudapati beberapa meter dalam jarak pandangku, ada sosoknya, sedang berjalan lambat dan menenteng sepedanya di tengah hujan yang cukup deras. Sesekali ia mengadahkan kepalanya ke atas dan membiarkan tetesan hujan membasahi wajahnya. Senyumnya dalam hujan, ah, Kagawa, mengapa kamu hujan-hujanan? Kakiku melangkah mendekatinya, melewati genangan-genangan air, dan tanpa mengatakan apapun, memayungi dirinya dengan payung yang sedang ku pakai, hingga akhirnya kita berada di bawah naungan payung yang sama, melindungi kami dari derasnya hujan, walaupun kutahu badannya telah basah tetapi aku hanya tak ingin Ia merasakan dinginnya air hujan yang terkena hembusan angin jauh lebih lama.

            “gak apa-apa, Ayana. Kamu saja yang pakai payung ini.” Kagawa berkata sambil memegang tanganku yang sedang memegang payung dan menggeser payung ini ke sisiku.

            “gak mau, kamu ngapain hujan-hujanan? Kalau sakit bagaimana?” aku menyela ucapannya sambil tetap memayungi dirinya. Tetapi Kagawa malah berjalan bergeser ke sisi luar dari payung dan berucap tanpa melihat ke arahku.


            “Aku suka hujan-hujanan seperti ini.
            Apalagi.. bisa hujan-hujanan ditemani orang yang disukai..”


            Orang yang disuka? Hujan-hujanan seperti ini? Maksudmu.. aku? Tunggu.. tunggu! Tadi aku tidak salah mendengar, kan? Apa benar ucapannya seperti itu? Tuhan, apakah yang dimaksudkan Kagawa tadi itu adalah aku? Ingin sekali aku memintanya untuk mengulangi perkataanya yang sebelumnya, aku tidak terlalu mendengar jelas ditengah deras hujan ini! Jantungku berdebar, berharap ucapan Kagawa tadi memiliki maksud untukku. Tentu saja kuharapkan Kagawa akan menyatakan perasaanya sekarang kepadaku. Ah, Tuhan! Aku ingin sekali berteriak!

            “jika melakukan dengan orang yang disuka, tentu saja segalanya akan terasa menyenangkan, bukan?” ucapku berusaha menerobos debaran di hati ini dengan menanggapi ucapannya yang tadi.

            “Iya, kamu benar.
Apalagi menyatakan perasaan di tengah hujan, hati akan terasa lebih sejuk dan tenang.. walaupun sulit, tetapi perasaan akan lebih mudah di ungkapkan seperti air hujan yang turun ke bumi.”

Aku berusaha mengambil nafas untuk tetap tenang. Sepertinya Kagawa hendak mengatakan sesuatu, dan kuharap itu perasaan untukku. Kuputar otakku, mencari kata-kata untuk membuatnya lebih mudah mengungkapkan perasaanya padaku. Kutarik nafas perlahan, dan

“kalau kamu mau menyatakan perasaan kepada seseorang seperti saat ini..          kamu mau mengatakannya seperti apa?”

Bunyi tetesan hujan masih mengiringi percakapan kami yang terselip diam. Seperti berfikir, Kagawa pun menjawab Tanya yang telah kulontarkan.

“entahlah.. sepertinya aku bukan orang yang pandai merangkai kata-kata.
Tetapi, pertama-tama aku akan memintanya untuk mendengarkan suara hujan ini..”

“lalu kemudian?”

Tiba-tiba, Kagawa menghentikan langkahnya dan menyandarkan sepeda yang sedang di tentengnya ke tiang di sebelah kami, dan dengan tangannya yang basah namun terasa hangat, Ia menggenggam tanganku yang tengah memegangi payung.



“Aku hanya ingin mengatakan bahwa selama ini aku sangat menyayanginya..
Yaa.. walaupun terlihat tidak meyakinkan sih tapi setidaknya jika waktu itu tiba, aku harap Ia lebih mendengar detak jantungku yang pasti akan berbunyi sangat keras daripada bunyi derasnya hujan ini..”

Sungguh! Saat ini waktu benar-benar terhenti! suara hujanpun tak terdengar dengan semua ucapan yang tadi Ia katakan padaku. Itukah yang selama ini ingin ia utarakan padaku? Ya Tuhan! Apa yang harus aku katakan? Apa aku juga harus mengutarakan perasaanku padanya? Sejenak aku terhenyak, namun sesegera mungkin ku lepaskan genggaman tangannya dariku yang tidak percaya, apa ini mimpi? Tidak tau harus berkata apa, aku pun kembali melangkahkan kakiku sambil menunduk, ah, sorotan matanya yang tadi. Seperti tidak ingin merespon tindakanku yang tadi, Kagawa kembali menenteng sepedanya sambil mengikuti langkahku. Tuhan, tolong buat hujan yang lebih deras! Aku tak ingin Ia mendengar suara degup jantungku saat ini. Dengan ragu-ragu, kutolehkan pandanganku padanya yang tengah menatapku dengan senyuman di bibirnya. Apa sih yang sebenarnya sedang Ia pikirkan? Apa ia menunggu jawabanku? Tapi kan Ia tidak bertanya apapun padaku!
Saat ini, tidak ada kata yang terucap dariku maupun darinya. Kami hanya berjalan dan berjalan ditengah hujan yang tak kunjung mereda. Ia masih menenteng sepedanya, dan aku, masih berjalan menunduk dengan seribu Tanya. Tujuanku hampir sampai, rumahku. Tetapi aku masih bingung harus berkata apa. Baiklah, mungkin aku akan menjawabnya lewat surat saja. Mungkin baru esok aku akan mengirim surat padanya, siapa tau perasaan ini akan lebih mudah Ia mengerti dengan goresan pena.
Akhirnya beberapa langkah lagi kami sampai ke rumah. walaupun agak malu, tetapi aku akan sedikit memberi salam padanya, ketika tiba-tiba Ia terpejam dan mengadahkan wajahnya ke udara, membiarkan tetesan hujan mengenai wajahnya, lalu berkata padaku, seolah memecah keheningan


“ah, semoga suatu saat nanti aku bisa berani untuk mengutarakan perasaanku seperti tadi kepada seseorang yang ku sukai ya..

Entah kenapa, aku paling tidak bisa berkata seperti tadi kepada orang yang benar-benar ku sukai..

Oh iya, tolong jangan bilang kepada siapapun soal perkataanku yang tadi ya!
Sampai jumpa nanti, Ayana!”

Langkahnya pun menjauh meninggalkanku, meninggalkan diriku yang masih berusaha mengerti akan ucapannya barusan. Sepatu sneakers ini basah, terasa dingin. Perlahan, kuletakkan payung yang ku pakai ke jalan aspal di depan rumahku, dan melakukan seperti yang Ia lakukan, terpejam dengan tetesan dingin air hujan yang mengenai wajah ini, membasuh tetes demi tetes air mata yang turun seiring dengan sedih yang kurasakan, ya, kini Aku mengerti. Dan kini, Tuhan, kumohon Jangan tukar perasaan yang seharusnya indah berbalas ini dengan kesedihan, walaupun hanya aku yang merasakan rasa sayang yang terlalu dalam ini, Aku akan terus menyimpannya hingga tiba saatnya lisanku akan lebih baik dalam mengutarakannya, meskipun bukan ditengah hujan.




*****